Teater Senja di
Tanah Turki
Aku terhenyak ketika seseorang menginjak kakiku yg kubalut dengan sepatu
pentopel berukuran 41 yg mengkilat yg setiap aku melihat ke bawah wajah menarik
dari pemiliknya dengan rambut gaya orang jerman kuno tercermin samar-samar
disana. Aku tersadar saat itu setelah akalku berkelana dalam kenangan-kenangan
indah, lucu, sedih, dan segala rasa manusiawi yg kebanyakan orang pernah
merasakannya. Aku melihat ponsel putih merk asal Finlandia yg ku punya dari
ayahku yg kupaksa untuk bertukar saat itu dengan
ponsel china yg entah aku lupa merknya, saat itu waktu menunjukan pukul 06 : 22
Pagi waktu Jakarta. Tapi, ada yg aneh saat aku melihat signal kartu GSM yang
dulu iklan nya menggunakan hewan kera yang biasa kupakai, tidak biasanya
darurat. Seperti kebanyakan orang, aku mencari signal dengan
menggoyang-goyangkan Ponselku ke atas, mungkin tak biasa melihat kelakuanku,
orang-orang di sekitarku dengan mata tajam disertai kerutan alis tebalnya
melihatku tak biasa. Tak ingin orang-orang melihatku seperti itu aku pergi mencari
pintu keluar tempat tersebut, sesampainya disana aku sadar saat melihat tulisan
besar di tempat tersebut yg bertuliskan "SABIHA GOKCEN INTERNATIONAL
AIRPORT" dan di keramaian seberang jalan "WELCOME TO ISTANBUL
CITY" aku bukan di Indonesia lagi, pikirku sedikit tak percaya.
aku tak bisa menahan air
mata bahagia tak terkira yg terpendam sedari tadi hingga tak ku sadari kini
telah membasahi pipiku. Bayanganku yg sedang berurai air mata terbayang di kaca
tebal yg tebalnya sekitar 5cm di samping pintu keluar Bandara tsb yg setiap detik rombongan
orang-orang melewatinya, melihat bayanganku yg sedang menangis, aku ingat
perkataan ibu "aa kok tetap tampan yah walaupun menangis, padahal ayah
kamu ketawa aja jelek" mengingat itu aku nyengir sambil
berkata "oh ia yah kok aku tampan aja walaupun menangis, pantas banyak
wanita membuatku menangis, mereka mau lihat wajah tampan aku toh" pikirku
percaya diri walaupun banyak orang melihatku tak biasa. aku masih berdiri di
pintu keluar Bandara yg termasuk ke bagian Asia tersebut, saat itu sekitar pukul
4 sore waktu setempat, mengingat perkataan ibu aku langsung mencari tempat
duduk di sebuah kafe mini dekat bandara sambil berharap ada Wifi atau Hotspot
Internet yang bisa kugunakan untuk membuka G-mail. Aku memesan secangkir
Istanbul Coffee dan kebab ayam khas Turki yg harganya jika dirupiahkan semuanya
sekitar Rp. 89.000, setelah itu aku membuka laptop yg kubawa yg Wallpapernya
foto seluruh siswa kelasku saat pelulusan, Aku tersenyum saat melihatnya.
Pengunjung kafe tidak terlalu ramai jadi koneksi internet sangat cepat saat
itu, aku membuka email dan benar saja ada 6 pesan baru yg masuk dalam emailku.
Email dari adikku Ayu yg pertama ku buka, email ini baru sekitar 20 menit
terkirim.
" assalamu'alaikum a.
aa, ibu yg menyuruh ayu untuk kirim email ini. Kata ibu, gmana penerbangannya?
Asramanya jauh gk dari bandara? Aa Udah makan belum? Hati-hati disana yah, cari
ilmu yg bener, makan yg bener, sholat yg bener dan sering kasih kabar. Salam,
ibu mu yg selalu mendukungmu. "
Aku masih
asyik sendiri walaupun suasana disini mulai ramai, Aku belum berani menyapa
orang orang baru yg kutemui di kafe ini, selain akses bahasa yg menjadi
kendala, berbicara soal penampilan akupun masih belum percaya diri. Walaupun
rambutku kelimis dengan potongan gaya orang jerman kuno dan jambul yg ku
berinama "jambul SBY" karna mirip dengan jambul presiden idolaku
tersebut, serta sepasang sepatu pentopel yg mengkilat, namun jika berbicara
soal wajah aku masih kalah saing dengan para pria di kafe ini yg rata rata
berperawakan tinggi dengan wajah oval khas timur tengah ditambah mata coklat,
hidung mancung dan sepasang kumis dan jambang yang tipis. bahkan, jika mereka
ada di kampungku di Indonesia pasti semua wanita tua maupun muda, janda, janda
herang, janda galak, janda alay, janda-jandaan, ibu rumah tangga, ibu-ibu di
rumah, ibu-ibu di tangga, mamah muda, nenek-nenek, nenek gaul, nenek gayung,
nenek lampirpun klemer-klemer karna ketampanan mereka, haha. Waktu setempat
menunjukan pukul 4.49, setelah menyantap kebab ayam pesananku yg rasanya
seperti martabak asen dicampur ayam dan sayuran, serta menghabiskan Istanbul
Coffee, Aku bergegas untuk membayar pesananku dan bertanya soal mushola atau
masjid yg bisa kujadikan tempat untuk shalat ashar. Setelah mengetahui bahwa
mushola terdekat ada di dalam bandara dekat kafe ini aku langsung pergi ke
tempat tersebut. Mushola di bandara ini cukup luas dan bersih dengan ornamen
khas di dindingnya, Air Conditioner yg tertempel di setiap sudut membuat
suasana disini sangat sejuk dan sangat pas untuk bersujud kepada sang maha
kuasa. Aku kembali tak bisa menahan air mata kebahagian selagi aku menunaikan
kewajibanku sebagai seorang muslim. Serta Dalam sayup doaku tak henti aku
mengucap syukur setelah apa yang kudapat hari ini, tak lupa ku panjatkan doa
untuk keluargaku dan untuk salah satu wanita paling anggun dalam hidupku
setelah Ibu, yg selalu mendukungku nan jauh disana yg kabarnya selalu ku
tunggu, ia kamu.
" I'am looking for this place, can you take me there sir?" ucapku
seraya memberikan kertas bertuliskan alamat kepada seorang supir taksi yang
tampaknya sedang menunggu penumpang di depan Bandara.
"yes, please! I'll take you there" ucapnya ramah, sembari bersiap
menyalakan mesin mobilnya. Matahari sudah hampir menyelesaikan tugasnya yaitu
menerangi planet ini, cahayanya yang mulai menguning keemasan terpancar di
dinding Gedung-gedung tinggi khas timur tengah yang kebanyakan berwarna putih
sehingga menambah indah pemandangan saat itu, lampu-lampu kota mulai di
nyalakan disana sini menambah eksotis kota yg berdiri dengan sejarah panjang
ini. Taksi berjalan lebih lambat kali ini, karna kami mulai memasuki pusat
keramaian kota Istanbul yaitu distrik Sultanahmet yang dimana berdirinya sebuah
bangunan kebanggaan orang orang turki yaitu Blue Mosque dan Haghia Sophia atau
sering disebut Aya Sophia yang letaknya tepat berseberangan dan hanya
dipisahkan jalan yang akan kami lewati. Dari sudut kaca sebuah taksi aku
terpana ketika perlahan-lahan taksi yang kutumpangi mulai melewati jalan
pemisah dua bangunan bersejarah tersebut. Kini, Tepat di sebelah kananku
berdiri kokoh masjid biru yang namanya memang biru tapi tak sebiru yang kubayangkan.
namun setiap yg melihatnya pasti ingin menunaikan shalat di tempat itu, sama
sepertiku, namun karna ongkos taksi yg kutahu cukup mahal pada malam hari, aku
harus meredam keinginanku tersebut. sedangkan di sebelah kiriku terpampang
nyata bangunan cantik Aya Sophia yg ramai sekali dengan pengunjung.
Cahaya matahari mulai menghilang menyisakan langit penuh bintang, suara adzan dari Blue Mosque mulai berkumandang dengan indah membuat ratusan burung merpati di pinggir jalan terbang ke tempat peraduannya, sungguh aku tak kuasa mengedipkan mataku saat itu, bak teater senja karya sang kuasa dengan alunan suara adzan karya sang pencipta aku terharu menyadari seorang anak kampung sepertiku diberi kesempatan untuk melihatnya, ya anak kampung.
Cahaya matahari mulai menghilang menyisakan langit penuh bintang, suara adzan dari Blue Mosque mulai berkumandang dengan indah membuat ratusan burung merpati di pinggir jalan terbang ke tempat peraduannya, sungguh aku tak kuasa mengedipkan mataku saat itu, bak teater senja karya sang kuasa dengan alunan suara adzan karya sang pencipta aku terharu menyadari seorang anak kampung sepertiku diberi kesempatan untuk melihatnya, ya anak kampung.
Taksi yg membawaku mulai berjalan menjauh dari keramaian, suara-suara keramaian
orang-orang mulai tak terdengar dan digantikan dengan suara mesin mobil taksi
yg kutumpangi. Aku membuka smartphoneku dan mulai memasang headphone
ditelingaku, aku memilih lagu History dari One Direction untuk menemani
perjalanan menakjubkan ini seraya mengenang perjuanganku hingga sampai di
tempat ini. Tentu aku tak langsung dan instan ada di negeri yg terletak di dua
benua ini. Ada berbagai cerita tawa, duka dan
bahagia yg membawaku sampai disini. Ada banyak tantangan yg harus ku terjang,
ada berbagai hal yg harus ku korbankan, ada cerita yg harus ku tinggalkan serta
ada mimpi yg harus ku buktikan. Aku percaya aku disini karna ada banyak
tangan-tangan keluarga, sahabat, serta guru yang memohon kepada sang kuasa
Allah swt sehingga tangan-Nya yg Esa menempatkan aku disini. Aku sadar setelah
aku disini di tempat yg ku impikan, yaitu Istanbul, ini bukanlah akhir
Perjuanganku, justru perjuangan yg sesungguhnya baru dimulai. Tahukah kau, perjalananku
untuk sampai disini sangat panjang, aku ingat itu berawal pada saat aku duduk
di kelas XI Sekolah Menengah Kejuruan favorit di Kotaku dua tahun yg lalu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sore
itu angin berhembus kencang, banyak anak kecil bermain layang-layang, satu
layang-layang merah tersangkut di tiang listrik, di tarik-tarik tak mau lepas,
sekali tarik kabel lepas, anak anak kabur tak jelas, ibu-ibu kipas-kipas, aku
tertawa lepas, satu kampung mati listrik. "haha mati lagi" ucapku
santai. Aku duduk di depan rumahku, menikmati angin sore seraya merenung apa yg
akan aku lakukan kedepannya. " mas, udah sore, masih jemur gigi aja "
ucap seseorang mengagetkanku. "hehe oh ia pak lagi ngelamun" jawabku
cengengesan. "yasudah lanjutin ngelamunnya, entar juga ngalamin kok" ucapnya. Ia adalah pak Yadi, guru saat aku SD dulu. Memang ia adalah salah satu guru yg sangat dekat denganku tak heran kami sangat sering bertegur sapa dan bercanda.
Aku Kamil, tepatnya
Kamil Muttaqin namun Orang-orang di kampungku memanggilku Kamas, aku tahu
setiap melihatku para gadis lemas, tatapanku membuat mereka malas, apalagi saat
aku tertawa lepas, ibu dari para gadis itu selalu cemas, takut cinta anaknya
tak terbalas, nanti jadi tak waras, seperti anak bu Welas, yang selalu tinggal
kelas. Sejujurnya aku tidak tahu kenapa aku di panggil Kamas, seingatku, ketika
aku mulai bisa mendengar dan mengingat, aku sudah di panggil dengan
nama tersebut yg lebih terdengar seperti mbak-mbak jamu menawarkan jamunya
"ayo kangmas, jamunya kangmas" tak heran itu menjadi bahan candaan
teman-temanku kepadaku. Aku kini duduk di kelas XI SMK Negeri 1 Pandeglang
jurusan Akuntansi, tepatnya di kelas XI AKUNTANSI 1, di tempat ini lah dimana
mimpiku mulai kurajut, dimana cita-citaku mulai kubangun, dengan nasehat dan
dukungan 37 orang-orang luar biasa yg kutemui. Aku tak bisa menyangkal bahwa
karna mereka aku tumbuh menjadi remaja tangguh dan gigih untuk mengejar
mimpiku. Persahabatan kami sangat luar biasa, walaupun digadang-gadang sebagai
kelas unggulan tapi perlu anda ketahui bahwa kelas kami jauh dari yg namanya
persaingan kotor, kaku, serta individual. Justru sangat rame, kocak, kreatif,
dan punya kebersamaan tinggi. Diantara 37 sahabat-sahabatku aku mungkin paling
dekat dan paling sering menghabiskan waktu dengan 2 orang manusia yg mengaku
diri mereka kece dan paling malas untuk diajak pulang kerumah jika berhadapan
dengan Wifi. Kami bertiga tak jarang pulang hampir malam hanya untuk
mendownload film atau sekedar browsing tak jelas. Pulangpun karna diusir
satpam, atau karna koneksi wifi terputus. Ya, Orang tua Mereka memberi nama
pada mereka Ahmad Fuadi dan Bayu Dwi Prasetyo atau biasa kupanggil Fuad dan
Bayu.
Tangan sang kuasa mempertemukan kami setahun yang lalu, dan akhirnya kami bersahabat sampai hari ini, hari dimana kami harus berpisah karna hari ini magang, tapi tempat magang kami berbeda.
Tangan sang kuasa mempertemukan kami setahun yang lalu, dan akhirnya kami bersahabat sampai hari ini, hari dimana kami harus berpisah karna hari ini magang, tapi tempat magang kami berbeda.



