Kamis, 05 Mei 2016

Cerbung ; Teater Senja di Tanah Turki

Teater Senja di Tanah Turki





         Aku terhenyak ketika seseorang menginjak kakiku yg kubalut dengan sepatu pentopel berukuran 41 yg mengkilat yg setiap aku melihat ke bawah wajah menarik dari pemiliknya dengan rambut gaya orang jerman kuno tercermin samar-samar disana. Aku tersadar saat itu setelah akalku berkelana dalam kenangan-kenangan indah, lucu, sedih, dan segala rasa manusiawi yg kebanyakan orang pernah merasakannya. Aku melihat ponsel putih merk asal Finlandia yg ku punya dari ayahku yg kupaksa untuk bertukar saat itu dengan ponsel china yg entah aku lupa merknya, saat itu waktu menunjukan pukul 06 : 22 Pagi waktu Jakarta. Tapi, ada yg aneh saat aku melihat signal kartu GSM yang dulu iklan nya menggunakan hewan kera yang biasa kupakai, tidak biasanya darurat. Seperti kebanyakan orang, aku mencari signal dengan menggoyang-goyangkan Ponselku ke atas, mungkin tak biasa melihat kelakuanku, orang-orang di sekitarku dengan mata tajam disertai kerutan alis tebalnya melihatku tak biasa. Tak ingin orang-orang melihatku seperti itu aku pergi mencari pintu keluar tempat tersebut, sesampainya disana aku sadar saat melihat tulisan besar di tempat tersebut yg bertuliskan "SABIHA GOKCEN INTERNATIONAL AIRPORT" dan di keramaian seberang jalan "WELCOME TO ISTANBUL CITY" aku bukan di Indonesia lagi, pikirku sedikit tak percaya.
      aku tak bisa menahan air mata bahagia tak terkira yg terpendam sedari tadi hingga tak ku sadari kini telah membasahi pipiku. Bayanganku yg sedang berurai air mata terbayang di kaca tebal yg tebalnya sekitar 5cm di samping pintu keluar Bandara tsb yg setiap detik rombongan orang-orang melewatinya, melihat bayanganku yg sedang menangis, aku ingat perkataan ibu "aa kok tetap tampan yah walaupun menangis, padahal ayah kamu ketawa aja jelek" mengingat itu aku nyengir sambil berkata "oh ia yah kok aku tampan aja walaupun menangis, pantas banyak wanita membuatku menangis, mereka mau lihat wajah tampan aku toh" pikirku percaya diri walaupun banyak orang melihatku tak biasa. aku masih berdiri di pintu keluar Bandara yg termasuk ke bagian Asia tersebut, saat itu sekitar pukul 4 sore waktu setempat, mengingat perkataan ibu aku langsung mencari tempat duduk di sebuah kafe mini dekat bandara sambil berharap ada Wifi atau Hotspot Internet yang bisa kugunakan untuk membuka G-mail. Aku memesan secangkir Istanbul Coffee dan kebab ayam khas Turki yg harganya jika dirupiahkan semuanya sekitar Rp. 89.000, setelah itu aku membuka laptop yg kubawa yg Wallpapernya foto seluruh siswa kelasku saat pelulusan, Aku tersenyum saat melihatnya. Pengunjung kafe tidak terlalu ramai jadi koneksi internet sangat cepat saat itu, aku membuka email dan benar saja ada 6 pesan baru yg masuk dalam emailku. Email dari adikku Ayu yg pertama ku buka, email ini baru sekitar 20 menit terkirim.


From: ayujaz99@gmail.com
" assalamu'alaikum a.
aa, ibu yg menyuruh ayu untuk kirim email ini. Kata ibu, gmana penerbangannya? Asramanya jauh gk dari bandara? Aa Udah makan belum? Hati-hati disana yah, cari ilmu yg bener, makan yg bener, sholat yg bener dan sering kasih kabar. Salam, ibu mu yg selalu mendukungmu. "

        Aku masih asyik sendiri walaupun suasana disini mulai ramai, Aku belum berani menyapa orang orang baru yg kutemui di kafe ini, selain akses bahasa yg menjadi kendala, berbicara soal penampilan akupun masih belum percaya diri. Walaupun rambutku kelimis dengan potongan gaya orang jerman kuno dan jambul yg ku berinama "jambul SBY" karna mirip dengan jambul presiden idolaku tersebut, serta sepasang sepatu pentopel yg mengkilat, namun jika berbicara soal wajah aku masih kalah saing dengan para pria di kafe ini yg rata rata berperawakan tinggi dengan wajah oval khas timur tengah ditambah mata coklat, hidung mancung dan sepasang kumis dan jambang yang tipis. bahkan, jika mereka ada di kampungku di Indonesia pasti semua wanita tua maupun muda, janda, janda herang, janda galak, janda alay, janda-jandaan, ibu rumah tangga, ibu-ibu di rumah, ibu-ibu di tangga, mamah muda, nenek-nenek, nenek gaul, nenek gayung, nenek lampirpun klemer-klemer karna ketampanan mereka, haha. Waktu setempat menunjukan pukul 4.49, setelah menyantap kebab ayam pesananku yg rasanya seperti martabak asen dicampur ayam dan sayuran, serta menghabiskan Istanbul Coffee, Aku bergegas untuk membayar pesananku dan bertanya soal mushola atau masjid yg bisa kujadikan tempat untuk shalat ashar. Setelah mengetahui bahwa mushola terdekat ada di dalam bandara dekat kafe ini aku langsung pergi ke tempat tersebut. Mushola di bandara ini cukup luas dan bersih dengan ornamen khas di dindingnya, Air Conditioner yg tertempel di setiap sudut membuat suasana disini sangat sejuk dan sangat pas untuk bersujud kepada sang maha kuasa. Aku kembali tak bisa menahan air mata kebahagian selagi aku menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Serta Dalam sayup doaku tak henti aku mengucap syukur setelah apa yang kudapat hari ini, tak lupa ku panjatkan doa untuk keluargaku dan untuk salah satu wanita paling anggun dalam hidupku setelah Ibu, yg selalu mendukungku nan jauh disana yg kabarnya selalu ku tunggu, ia kamu.
    " I'am looking for this place, can you take me there sir?" ucapku seraya memberikan kertas bertuliskan alamat kepada seorang supir taksi yang tampaknya sedang menunggu penumpang di depan Bandara.
"yes, please! I'll take you there" ucapnya ramah, sembari bersiap menyalakan mesin mobilnya. Matahari sudah hampir menyelesaikan tugasnya yaitu menerangi planet ini, cahayanya yang mulai menguning keemasan terpancar di dinding Gedung-gedung tinggi khas timur tengah yang kebanyakan berwarna putih sehingga menambah indah pemandangan saat itu, lampu-lampu kota mulai di nyalakan disana sini menambah eksotis kota yg berdiri dengan sejarah panjang ini. Taksi berjalan lebih lambat kali ini, karna kami mulai memasuki pusat keramaian kota Istanbul yaitu distrik Sultanahmet yang dimana berdirinya sebuah bangunan kebanggaan orang orang turki yaitu Blue Mosque dan Haghia Sophia atau sering disebut Aya Sophia yang letaknya tepat berseberangan dan hanya dipisahkan jalan yang akan kami lewati. Dari sudut kaca sebuah taksi aku terpana ketika perlahan-lahan taksi yang kutumpangi mulai melewati jalan pemisah dua bangunan bersejarah tersebut. Kini, Tepat di sebelah kananku berdiri kokoh masjid biru yang namanya memang biru tapi tak sebiru yang kubayangkan. namun setiap yg melihatnya pasti ingin menunaikan shalat di tempat itu, sama sepertiku, namun karna ongkos taksi yg kutahu cukup mahal pada malam hari, aku harus meredam keinginanku tersebut. sedangkan di sebelah kiriku terpampang nyata bangunan cantik Aya Sophia yg ramai sekali dengan pengunjung.
    Cahaya matahari mulai menghilang menyisakan langit penuh bintang, suara adzan dari Blue Mosque mulai berkumandang dengan indah membuat ratusan burung merpati di pinggir jalan terbang ke tempat peraduannya, sungguh aku tak kuasa mengedipkan mataku saat itu, bak teater senja karya sang kuasa dengan alunan suara adzan karya sang pencipta aku terharu menyadari seorang anak kampung sepertiku diberi kesempatan untuk melihatnya, ya anak kampung.
    Taksi yg membawaku mulai berjalan menjauh dari keramaian, suara-suara keramaian orang-orang mulai tak terdengar dan digantikan dengan suara mesin mobil taksi yg kutumpangi. Aku membuka smartphoneku dan mulai memasang headphone ditelingaku, aku memilih lagu History dari One Direction untuk menemani perjalanan menakjubkan ini seraya mengenang perjuanganku hingga sampai di tempat ini. Tentu aku tak langsung dan instan ada di negeri yg terletak di dua benua ini. Ada berbagai cerita tawa, duka dan bahagia yg membawaku sampai disini. Ada banyak tantangan yg harus ku terjang, ada berbagai hal yg harus ku korbankan, ada cerita yg harus ku tinggalkan serta ada mimpi yg harus ku buktikan. Aku percaya aku disini karna ada banyak tangan-tangan keluarga, sahabat, serta guru yang memohon kepada sang kuasa Allah swt sehingga tangan-Nya yg Esa menempatkan aku disini. Aku sadar setelah aku disini di tempat yg ku impikan, yaitu Istanbul, ini bukanlah akhir Perjuanganku, justru perjuangan yg sesungguhnya baru dimulai. Tahukah kau, perjalananku untuk sampai disini sangat panjang, aku ingat itu berawal pada saat aku duduk di kelas XI Sekolah Menengah Kejuruan favorit di Kotaku dua tahun yg lalu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

    Sore itu angin berhembus kencang, banyak anak kecil bermain layang-layang, satu layang-layang merah tersangkut di tiang listrik, di tarik-tarik tak mau lepas, sekali tarik kabel lepas, anak anak kabur tak jelas, ibu-ibu kipas-kipas, aku tertawa lepas, satu kampung mati listrik. "haha mati lagi" ucapku santai. Aku duduk di depan rumahku, menikmati angin sore seraya merenung apa yg akan aku lakukan kedepannya. " mas, udah sore, masih jemur gigi aja " ucap seseorang mengagetkanku. "hehe oh ia pak lagi ngelamun" jawabku cengengesan. "yasudah lanjutin ngelamunnya, entar juga ngalamin kok" ucapnya. Ia adalah pak Yadi, guru saat aku SD dulu. Memang ia adalah salah satu guru yg sangat dekat denganku tak heran kami sangat sering bertegur sapa dan bercanda.
    Aku Kamil, tepatnya Kamil Muttaqin namun Orang-orang di kampungku memanggilku Kamas, aku tahu setiap melihatku para gadis lemas, tatapanku membuat mereka malas, apalagi saat aku tertawa lepas, ibu dari para gadis itu selalu cemas, takut cinta anaknya tak terbalas, nanti jadi tak waras, seperti anak bu Welas, yang selalu tinggal kelas. Sejujurnya aku tidak tahu kenapa aku di panggil Kamas, seingatku, ketika aku mulai bisa mendengar dan mengingat, aku sudah di panggil dengan nama tersebut yg lebih terdengar seperti mbak-mbak jamu menawarkan jamunya "ayo kangmas, jamunya kangmas" tak heran itu menjadi bahan candaan teman-temanku kepadaku. Aku kini duduk di kelas XI SMK Negeri 1 Pandeglang jurusan Akuntansi, tepatnya di kelas XI AKUNTANSI 1, di tempat ini lah dimana mimpiku mulai kurajut, dimana cita-citaku mulai kubangun, dengan nasehat dan dukungan 37 orang-orang luar biasa yg kutemui. Aku tak bisa menyangkal bahwa karna mereka aku tumbuh menjadi remaja tangguh dan gigih untuk mengejar mimpiku. Persahabatan kami sangat luar biasa, walaupun digadang-gadang sebagai kelas unggulan tapi perlu anda ketahui bahwa kelas kami jauh dari yg namanya persaingan kotor, kaku, serta individual. Justru sangat rame, kocak, kreatif, dan punya kebersamaan tinggi. Diantara 37 sahabat-sahabatku aku mungkin paling dekat dan paling sering menghabiskan waktu dengan 2 orang manusia yg mengaku diri mereka kece dan paling malas untuk diajak pulang kerumah jika berhadapan dengan Wifi. Kami bertiga tak jarang pulang hampir malam hanya untuk mendownload film atau sekedar browsing tak jelas. Pulangpun karna diusir satpam, atau karna koneksi wifi terputus. Ya, Orang tua Mereka memberi nama pada mereka Ahmad Fuadi dan Bayu Dwi Prasetyo atau biasa kupanggil Fuad dan Bayu.
Tangan sang kuasa mempertemukan kami setahun yang lalu, dan akhirnya kami bersahabat sampai hari ini, hari dimana kami harus berpisah karna hari ini magang, tapi tempat magang kami berbeda.